Berdasarkan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali
ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah
mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu.
Masyarakat Cina menggunakan mariyuana untuk bahan tenun
pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit
perut, beri-beri hingga malaria.
MENURUT sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada
akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo.
Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk
menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau
Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada,
tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya.
Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya.
Di kalangan anak muda nusantara, ganja lebih familiar disebut bakong ijo,
gelek, cimeng atau rasta. Sementara sebutan keren lainya ialah tampee, pot,
weed, dope.
Setelah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh
Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambatlaun
mentradisi di Aceh. Bahkan kalau ada masakan, dianggap belum sempurna kalau
bumbunya tidak dicampur dengan biji ganja. Tradisi ini memang sulit dihilangkan
atau diberantas.
Soal ganja, pasti tak luput Aceh. Namun klaim itu tak
bisa serta merta disambut negatif, karena memang benar adanya. Bahkan ada klaim
bahwa tanah 1001 rencong ini juga dikenal sebagai produsen ganja terbesar di
Asia Tenggara setelah Thailand. Hampir di setiap jengkal belantara Aceh dihiasi
tanaman ganja.
Tak pelak, isu Aceh sebagai penghasil tanaman ajaib ini
bahkan sudah mendunia. Sampai-sampai dalam sidang ke 49 Komisi Narkoba PBB (UN
Commission on Narcotic Drugs) pada tanggal 13-17 Maret 2006 di Wina Austria,
turut dibahas tentang fenomena ini.
Konon lagi anggapan masyarakat internasional bahwa Aceh
sudah memiliki trade mark sebagai ‘ladang ganja’ terbesar sekaligus penyuplai
ganja berkualitas nomor wahid.
Menjamurnya tanaman ganja di Aceh sangat didukung oleh
kondisi geografis, tanahnya juga subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan
dengan iklim yang relatif stabil, ditambah lagi keterisolasian akibat konflik
sejak zaman Belanda, DI-TII sampai era GAM. Nah, masyarakat yang berada di
daerah terpencil terancam kelaparan dan kemiskinan akibat konfliknya. Warga
berinisiatif menanam ganja untuk bertahan hidup.
Hampir tak ada orang Aceh yang tak pernah mencicipinya,
ada yang menikmatinya via rokok ternikmat, bumbu dapur, dodol, campuran kopi,
hingga diolah ke berbagai jenis makanan lainya, selebihnya dijual ke luar Aceh.
Mengapa ganja dilarang? Inilah yang harus dimengerti
masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan pemerintah
sendiri telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi,
distribusi sampai tahap konsumsi ganja.
Undang-undang No. 22 1997 tentang narkotika
mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman
ganja termasuk damar ganja dan hasil sebagai narkotika golongan I yang berarti
satu kelas dengan opium dan kokain.
Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa
mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar
narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan denda paling paling
banyak satu milyar rupiah.
Di Aceh, dulu dijual bebas di pasar, digantung-gantung di
kios, di gerobak-gerobak penjaja sayur. Ganja mulai dilarang ketika Hoegeng
menjadi kepala pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah nusantara.
Ia ingin tahu penyebab pemuda Aceh bermalas-malasan yang
dinilai merugikan ekonomi Kerajaan Belanda. Lalu dia menyamar, pergi ke
kampung-kampung dan ditemukanlah jawabannya: karena mengisap ganja.
Di luar negeri, ganja dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
ganja untuk kepentingan industri maupun medis yaitu ganja jenis Hemp, dan ganja
terlarang sering disebut Cannabis. Sementara di Indonesia tidak mengenal
perbedaan ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
disebutkan bahwa ganja termasuk sebagai narkotika saja.
Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang
adalah karena zat THC. Zat ini bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk sesaat
jika salah digunakan. Sebenarnya kadar zat THC yang ada dalam tumbuhan ganja
dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika ganja dikelola dan dipantau dengan
proses yang benar.
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Dalam penelitian meta analisis para ahli dari Universitas
Cardiff dan Universitas Bristol, Inggris, pencandu ganja berisiko
schizophrenia, yakni peningkatan gejala seperti paranoid, mendengar suara-suara
dan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada yang berujung pada kelainan jiwa,
seperti depresi, ketakutan, mudah panik, depresi, kebingungan dan
berhalusinasi, gangguan kehamilan dan janin.
Kesan Aceh sebagai ladang ganja berkonotasi negatif
memang telah mencoreng muka kita semua di mata Internasional. Untuk mengatasi
ini, dibutuhkan keterlibatan segenap elemen mayarakat. Mulai dari pemerintah,
ulama, cendikiawan aparat penegak hokum hingga orang tua.***
Sumber : Faizatul Husna/dbs – Modus Aceh
0 Response to "Sejarah Asal Mula Ganja di Aceh"
Post a Comment