Setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Sosok ini yang
dianggap sebagai sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi, khususnya
disekitaran Jawa.
Sejak kemerdekaan hingga sekarang ini, hari kebangkitan
wanita Indonesia sering diidentikan dengan sosok wanita yang bernama Kartini, termasuk di Aceh. Padahal, Aceh
merupakan daerah yang memiliki segudang pahlawan wanita. Sebut saja Cut Nyak
Dhien, Cut Meutia, Teungku Fakinah, Sri Ratu Safiatuddin, Malahayati, serta sejumlah nama lainnya.
Mereka tak hanya pandai menulis serta surat menyurat seperti
Kartini, tapi juga ikut ke medan perang untuk melawan penjajah.
Kartini sendiri lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April
1879 dan menutup usia di Rembang, Jawa
Tengah, 17 September 1904 pada umur 2 5 tahun. Umurnya begitu singkat dan tak
dikenal hingga Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang
pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Abendanon pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Dari buku Abendanon lah kemudian nama Kartini dikenal serta
diagung-agung oleh semua rakyat
Indonesia.
Buku itu sendiri diberi judul Door Duisternis tot Licht,
arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat
Kartini ini diterbitkan pada tahun 1911.
Buku ini dicetak sebanyak 5 kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan
surat Kartini.
Sementara itu, Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin
Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti Sri Sultan
Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Anak yang paling tua dari Sultan Iskandar Muda
dan dilahirkan pada 1612 dengan nama
Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam mepunyai arti “kemurnian iman, mahkota dunia.”
Safiatuddin memerintah antara 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar
mengarang sajak dan cerita serta membantu dalam berdirinya perpustakaan di negerinya.
Safiatuddin sendiri menutup usia pada 23
Oktober 1675.
Safiatuddin lahir ratusan tahun sebelum Kartini. Sultanah
Safiatuddin memerintah selama 35 tahun lamanya, dan membentuk barisan perempuan
pengawal di istana yang turut berperang dalam Perang Malaka pada tahun 1639. Safiatuddin
juga meneruskan tradisi pemberian tanah
kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Bagi masyarakat Jawa, mungkin Kartini adalah pahlawan. Ini
karena tak ada wanita yang lebih hebat dari Kartini.
Lantas bagaimana dengan Aceh sendiri? Apakah Aceh butuh
sosok Kartini? Hal ini mungkin perlu memikirkan ulang dari para penguasa dan
pemikir asal Aceh sendiri. Pasalnya, menurut penulis, pahlawan wanita asal Aceh
jauh lebih hebat-hebat dan berkelas
dibanding Kartini.
Di masa konflik Aceh pun, banyak perempuan-perempuan yang
berasal dari Aceh yang jauh lebih kuat
dari Kartini. Inilah mungkin kelebihan dari Aceh.
Penulis sendiri adalah Mahfud, mahasiswa Unsyiah.
Sumber: mediaaceh.co
0 Response to "Aceh (Tidak) Butuh Kartini"
Post a Comment